Rabu 14 April 2010, masyarakat dikagetkan oleh kejadian yang mengenaskan. Tanjung Priok rusuh. Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) terlibat bentrokan dengan warga yang mengakibatkan korban di kedua belah pihak. Ratusan orang terluka, beberapa orang meninggal, sejumlah kendaraan rusak.

Peristiwa ini tentu saja tak luput dari jurnalisme. Secara seketika, perhatian media nasional, terutama televisi, terpusat pada peristiwa ini. Konflik di Koja menjadi headline. Berita-berita di televisi didominasi oleh berita mengenai konflik tersebut. Namun, tayangannya hampir selalu sama: adegan kekerasan.

Sebuah stasiun televisi menayangkan adegan yang menggambarkan pemukulan yang dilakukan oleh Satpol PP terhadap seorang remaja yang kira-kira berumur 15 tahun.1 Tayangan tersebut menggambarkan secara lengkap kronologis pemukulan tersebut mulai dari awal ketika korban dipukuli ramai-ramai hingga pada akhirnya diselamatkan beberapa orang anggota Satpol PP lain yang membawa ia masuk ke sebuah mobil Ambulance.

Di tiap adegan, kamerawan selalu menyorotkan kameranya dengan fokus pada korban. Suara erangan korban dan makian para pemukul pun terekam dengan jelas dalam tayangan tersebut. Fakta mengenai kekerasan tersebut dihadirkan secara telanjang ke tengah pemirsa televisi.

Hari itu, kekerasan yang terjadi di Koja seolah mejadi topik wajib di media televisi. Sejak pagi, program breaking news di setiap televisi yang rata-rata muncul setiap satu jam sekali menayangkan perkembangan di tempat kejadian yang selalu menyisipkan adegan berisi kekerasan.

Rupanya hal ini menuai protes dari masyarakat. Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Nusa Tenggara Barat (NTB) pernah melayangkan surat peringatan kepada Metro Tv terkait siaran peristiwa kerusuhan di sekitar Makam Mbah Priok di Jakarta Utara, karena menayangkan aksi kekerasan secara vulgar.

Wakil Ketua KPID NTB Sukri Aruman di Mataram mengatakan, surat peringatan tersebut juga ditembuskan ke KPI Pusat dan Gubernur NTB. Ia mengatakan, peringatan yang disampaikan ke Metro Tv karena siaran kasus kerusuhan di Koja Jakarta Utara banyak diprotes masyarakat NTB karena gambar yang ditayangkan mengeksploitasi kekerasan.

“Kami menerima sejumlah pengaduan dari masyarakat NTB terkait tayangan kasus kerusuhan di Koja Jakarta Utara yang mengedepankan aksi kekerasan. Ini dikhawatirkan menimbulkan trauma dan keresahan di tengah masyarakat,” ujar Aruman.2

Masyarakat memang sudah sepantasnya resah melihat realitas bahwa kekerasan seringkali mendominasi isi tayangan televisi. Hal ini berkaitan dengan komunikasi massa yang pada sebagian orang memiliki efek yang begitu hebatnya. Kita tentu masih ingat bagaimana seorang anak Sekolah Dasar melukai teman sepermainannya dengan beraksi layaknya pegulat profesional karena meniru adegan Smack Down di televisi.

Sudah sewajarnya, apabila saat ini media massa perlu mempertimbangkan secara matang penayangan sebuah berita atau tayangan yang mengandung kekerasan dengan memperhatikan efek yang akan ditimbulkan dalam masyarakat.

Media massa dan khalayak

Dalam dunia jurnalisme, kebanyakan konflik adalah layak berita. Menurut Ishwara, konflik fisik seperti perang atau perkelahian adalah layak berita karena biasanya ada kerugian dan korban. Kekerasan itu sendiri membangkitakan emosi dari yang menyaksikan dan mungkin ada kepentingan langsung. Demikian pula perkelahian di lapangan sepak bola yang dilanjutkan dengan perusakan-perusakan setelah pertandingan. Perang, pembunuhan, kekerasan biasanya mendapat mendapat tempat di halaman muka. Selain konflik fisik ini, debat-debat mengenai pemcemaran, reaktor nuklir dan rausan isu yang menyangkut kualitas dari kehidupan mendapat tempat yang penting dalam pemberitaan.3

Kusumaningrat dan Kusumaningrat juga memiliki pandangan yang sama mengenai konflik sebagai sebuah nilai berita. Menurut mereka, peristiwa atau kejadian yang mengandung pertentangan senantiasa menarik perhatian pembaca. Para sosiolog, berdasarkan hasil pengamatan dan penelitian mereka, berpendapat bahwa pada umumnya manusia memberi perhatian terhadap konflik, kalau tidak mau dikatakan menyukainya. Apalagi kalau mereka tidak mengalaminya sendiri. Sebab itu orang suka membaca berita tentang perang, kriminalitas atau olahraga atau persaingan dalam bidang apa pun karena di dalamnya terkandung unsur konflik dan drama.4

Jurnalisme berada pada ranah komunikasi massa. Menurut Rakhmat, komunikasi massa diartikan sebagai jenis komunikasi yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui media cetak atau elektronis sehingga pesan yang sama dapat diterima secara serentak dan sesaat. Perkataan dapat dalam definisi di atas menekankan pengertian bahwa jumlah sebenarnya penerima komunikasi massa pada saat tertentu tidaklah esensial.5

Dalam pengertian tersebut kita menemukan beberapa karakteristik komunikasi massa antara lain khalayak yang tersebar, heterogen, dan anonim; penyampaian pesan melalui media; dan pesan diterima secara serentak dan sesaat.

Sementara itu, menurut Littlejohn dan Foss, komunikasi massa merupakan proses organisasi media menciptakan dan menyebarkan pesan-pesan pada masyarakat luas dan proses pesan tersebut dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh Audiens.6

Menurut Littlejohn dan Foss, melalui model komunikasi Lasswell yang sederhana – siapa, mengatakan apa, di saluran mana, untuk siapa, dengan pengaruh apa – kita dapat menemukan bagian dari sistem komunikasi massa. Lasswell kemudian mengidentifikasikan fungsi-fungsi utama media komunikasi, antara lain pengamatan (surveillance), memberikan informasi tentang lingkungan, memberikan pilihan untuk memecahkan masalah, atau hubungan (correlation), dan sosialisasi serta pendidikan yang dikenal dengan transmisi (transmission).

Organisasi media menyebarkan pesan yang memengaruhi dan menggambarkan budaya masyarakat, dan media memberikan informasi kepada audiens yang heterogen, menjadikan media sebagai dari kekuatan institusi masyarakat.7

Dari uraian tadi terlihat bahwa jurnalisme yang berada pada ranah media pada akhirnya melebur menjadi satu kesatuan yang berusaha untuk mewujudkan fungsi dari komunikasi massa menurut Lasswell. Hal ini tercermin dalam tujuan jurnalisme yang dipaparkan oleh Kovach dan Rosenstiel. Menurut mereka, tujuan dari jurnalisme adalah adalah menyediakan informasi yang diperlukan orang agar bebas dan bisa mengatur diri sendiri.8

Secara tidak langsung, tujuan jurnalisme tersebut menyiratkan adanya pengaruh dari media massa terhadap khalayak melalui informasi yang disiarkannya. Apabila kembali melihat komunikasi massa melalui paradigma Lasswell, hal yang menarik dan selalu menjadi perdebatan di kalangan akademisi ilmu komunikasi adalah mengenai pengaruh atau efek media massa.

Ada yang menganggap bahwa media begitu perkasa9, sementara khalayak bersifat pasif dan cenderung menerima begitu saja apa yang disampaikan media massa. Di sisi lain, banyak pihak yang menilai bahwa efek media tidak perlu diperhatikan karena tidak begitu berarti, toh, khalayak bersifat aktif dan tidak dengan mudah terpengaruhi media massa.

Apabila melihat reaksi protes dari masyarakat terhadap tayangan kekerasan di media massa, asumsi yang muncul adalah masyarakat memiliki ketakutan terhadap efek yang ditimbulkan media massa.

Ada beberapa teori yang menjelaskan efek media massa sedemikian kuatnya. Salah satunya adalah teori belajar sosial dari Bandura. Menurut Bandura, kita belajar bukan saja dari pengalaman langsung, tetapi dari peniruan atau peneladanan (modeling). Perilaku merupakan hasil faktor-faktor kognitif dan lingkungan. Artinya, kita mampu memiliki keterampilan tertentu, bila terdapat jalinan positif antara stimuli yang kita amati dan karakteristik diri kita.10

Menurut Bandura, ada empat tahapan dalam proses belajar sosial yaitu proses perhatian, proses pengingatan, proses reproduksi motoris, dan proses motivasional. Intinya, teori Bandura menganggap pesan yang berulang-ulang di media dapat menjadi referensi atau teladan bagi seseorang dalam perilakunya. Kekerasan yang selalu ditayangkan di televisi akan mendorong khalayak mejadi agresif.

Etika dalam pemberitaan

Masalah tayangan berbumbu kekerasan bukan milik media Indonesia saja. Masalah ini telah lama menjadi masalah dalam dunia jurnalisme internasional khususnya berkaitan dengan bidang etika.

Pada Mei 2002, CBS menyiarkan cuplikan tayangan yang menunjukkan fundamentalis Islam Pakistan menghabisi nyawa Daniel Pearl, wartawan Wall Street Journal.11 Hal tersebut menuai kritik dari pemerintah Amerika Serikat dan para ethicist.

Dalam kasus tersebut, CBS menggunakan cuplikan tersebut untuk mengilustrasikan bagaimana video digunakan sebagai propaganda di negara Muslim. Boston Phoenix yang menggunakan foto dari cuplikan tersebut pun mendapat kritik.

Ada pihak yang berpandangan bahwa penayangan tersebut sebenarnya tidak perlu dan melanggar garis moral. Sementara yang lain berpandangan bahwa kejadian sadis tersebut benar-benar terjadi dan orang-orang harus tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam dunia mereka. Dalam etika selalu ada perdebatan.

Menurut Folkerts, etika secara sederhana adalah standar perilaku dan pertimbangan moral.12 Magee mendefinisikan etika sebagai suatu refleksi filosofis tentang bagaimana seharusnya kita hidup dan refleksi tentang pertanyaan-pertanyaan yang terkait dengan benar dan salah, baik dan buruk, harus dan tidak harus, kewajiban, serta konsep-konsep lain semacamnya. 13

Clifford G. Christians, Kim B. Rotzoll, dan Mark Fackler menjabarkan lima pendekatan teoretis terhadap etika14, yaitu:

  1. the golden mean. Etika Aristoteles menyatakan bahwa etika berada di titik tengah di antara dua ekstrem yang sama-sama buruknya.
  2. the categorial imperative. Immanuel Kant percaya bahwa prinsip etika seharusnya ditentukan melalui analisis tentang prinsip apa yang dapat diaplikasikan secara universal.
  3. the principle of utility. John Stuart Mill menyatakan keputusan etika harus dibuat berdasarkan apa yang memberikan kebaikan terbaik kepada jumlah terbanyak manusia dalam masyarakat.
  4. the veil of ignorance. John Rawls mengatakan bahwa keadilan muncul ketika kesenjangan sosial dieliminasi dalam tahap negosiasi.
  5. Judeo-Christian ethic. Etika religius ini menyatakan bahwa manusia semestinya berperilaku dengan membayangkan apa yang akan manusia lain lakukan bila berada dalam posisi yang sama.

Masih berkaitan dengan etika, pada dasarnya telah ada beberapa konsep yang menjadi standar perilaku jurnalisme. Konsep-konsep yang diakui secara universal tersebut adalah akurasi, objektivitas, adil dan berimbang, larangan terhadap pemalsuan informasi (fakery), kebenaran, integritas sumber, dan menghindari konflik kepentingan.

Meskipun demikian, selalu ada perdebatan mengenai etika dalam jurnalisme karena ada masalah-masalah etika yang tidak dapat diputuskan melalui konsep-konsep tadi, seperti masalah mengenai tayangan yang berisi kekerasan. Di satu sisi wartawan harus memberitakan fakta yang terjadi. Sementara di sisi lain nuraninya berkata tentang pelanggaran nilai kemanusiaan.

Untuk itulah dibuat kode etik wartawan. Selain itu media wajib menerapkan proses penalaran moral untuk membuat sebuah keputusan etis terhadap sebuah isu yang sensitif. Ada tiga contoh penalaran tentang keputusan etis ini.15 Penalaran Sissela Bok, misalnya, berdasarkan pada pertanyaan-pertanyaan:

  1. apa yang kita rasakan tentang hal itu?
  2. apakah ada jalan lain yang dapat meraih tujuan yang sama?
  3. seberapa jauh hal itu akan berpengaruh terhadap orang lain?

Roy Peter Clark menawarkan pertanyaan-pertanyaan seperti:

  1. apakah berita tersebut secara akurat merepresentasikan pengetahuan kita?
  2. apakah ada sudut pandang yang terlewat?
  3. apa yang akan kita rasakan apabila berita itu adalah tentang kita?
  4. seberapa baik efek dari pemberitaan ini?
  5. apa yang sebenarnya khalayak perlu ketahui?

Sementara itu, Goodwin menerapkan penalaran moral melalui tujuh pertanyaan sebagai berikut:

  1. Apa yang biasa kita lakukan terhadap kasus seperti ini?
  2. siapa yang rugi dan siapa yang akan kita bantu lewat berita ini?
  3. apakah ada alternatif yang lebih baik?
  4. apa yang sebenarnya kita rasakan?
  5. apakah khalayak akan menerima berita ini?
  6. nilai apa saja yang ada?
  7. apakah keputusan ini pantas untuk jurnalisme yang kita percayai?

Etika vs rating

Surochiem menilai, dalam persitiwa Priok, tayangan kekerasan oleh pihak keamanan, dalam waktu yang singkat turut menjadi pemicu perlawanan massa. Akhirnya, timbul empati dan solidaritas massa untuk vis a vis dengan pihak keamanan. Ketika chaos terjadi, korban berjatuhan, media tetap berpikir untuk mengejar rating dan aktualitas tanpa diikuti rasa tanggung jawab yang memadai. Televisi terperangkap dalam strategi komodifikasi kekerasan guna meraih rating tinggi.16

Apabila benar bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat17, maka keputusan etika sudah sewajarnya mementingkan masyarakat, baik berdampak secara sosial, ekonomi, maupun psikologis.

Ada hal menarik mengenai realitas dunia penyiaran di Indonesia bahwa setelah terbebas dari state-based power selama masa Orde Lama dan Orde Baru, media massa di Indonesia tidak bertransformasi menuju public-based power sebagai potensi demokrasis media. Menurut Sudibyo, apa yang terjadi kemudian adalah konsolidasi antara market-based power dan state-based power untuk mengendalikan ranah media.18

Negara tidak sungguh-sungguh memfasilitasi pelembagaan kebebasan pers dan demokratisasi penyiaran, dan justru menunjukkan kecenderungan yang semakin kasat mata untuk kembali mengendalikan kehidupan media dan penyiaran.

Peraturan Pemerintah (PP) no. 49, 50, 51, 52 Tahun 2005 memangkas fungsi KPI sebagai regulator penyiaran dan melimpahkannya kepada Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo). KPI adalah sebuah lembaga independen yang memiliki spirit untuk mewujudkan masyarakat sebagai titik pusat dalam setiap lembaga penyiaran.

Apa yang terjadi ketika kekerasan mendominasi tayangan televisi dapat dimaknai sebagai sebuah akibat dari rasionalitas birokrasi dan rasionalitas modal yang mulai mengambil alih media sementara lembaga independen yang berfungsi untuk meluruskan fungsi media dalam masyarakat kehilangan taringnya.

Mengingat efek media massa terhadap perilaku khalayak, sudah semestinya ada tindakan tegas mengenai pelanggaran etika di bidang jurnalisme. Toh, pada dasarnya dunia penyiaran Indonesia telah memiliki regulasi yakni UU no, 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Pasal 36 menyebutkan bahwa:

(1) isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan, dan manfaat untuk pembentukan intelektualitas, watak, moral, kemajuan, kekuatan bangsa, menjaga persatuan dan kesatuan, serta mengamalkan nilai-nilai agama dan budaya Indonesia,

(2) Isi siaran dari jasa penyiaran televisi yang diselelnggarakan oleh Lembaga Penyiaran Swasta dan Lembaga Penyiaran Publik, wajib memuat sekurang-kurangnya 60 persen mata acara yang berasal dari dalam negeri,

(3) isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran,

(4) isi siaran wajib dijaga netralitasnya dan tidak boleh mengutamakan kepentingan golongan tertentu,

(5) isi siaran dilarang: a, bersifat fitnah, menghasut, menyesatkan dan atau bohong, b, menonjolkan unsur kekerasan, cabul, perjudian, penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang, c, mempertentangkan suku, agama, ras, dan antargolongan,

(6) isi siaran dilarang memperolokkan, merendahkan, melecehkan dan atau mengabaikan nilai-nilai agama, martabat manusia Indonesia, atau merusak hubungan internasional.

Sementara itu, dalam pasal 3 Kode Etik Jurnalistik Wartawan Indonesia disebutkan bahwa Wartawan tidak menyiarkan karya jurnalistik (tulisan, gambar, suara, serta suara dan gambar) yang menyesatkan memutarbalikkan fakta, bersifat fitnah, cabul, sadis, serta sensasional.

Oleh karena itu, apa yang sebaiknya dilakukan adalah mengefektifkan peran lembaga independen seperti KPI dan Dewan Pers disertai dengan pendidikan mengenai literasi media kepada masyarakat.

1 Apakah terjadi pelanggaran HAM dalam kerusuhan mbah priok ???, http://www.youtube.com/watch?v=uQPj9n9MhNo, diunduh pada 28 Mei 2010

2 Metro Tv Ubah Pola Pemberitaan, Jauhi Kekerasan, 21 Mei 2010, http://www.kpi.go.id, diunduh pada 28 Mei 2010

3 Ishwara, Catatan-catatan Dasar Jurnalisme, (Jakarta: Gramedia, 2005), halaman 53

4 Kurumaningrat dan Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan Praktik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), halaman 65

5 Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), halaman 189

6 Littlejohn dan Foss, Teori Komunikasi, (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), halaman 405

7 Ibid, halaman 407

8 Kovach dan Rosenstiel, Sembilan Elemen Jurnalisme, (Jakarta: Yayasan Pantau, 2006), halaman 6

9 Rakhmat, Op.Cit, halaman 195

10 Ibid, halaman 240

11 Folkerts, the Media in Your Life, halaman 341

12 Ibid, halaman 342

13 Magee, the Story of Philosophy, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), halaman 229

14 Folkerts, Op.Cit, halaman 345

15 Ibid, halaman 354

16Surochiem, Kekerasan dalam televisi, (2010), http://www.surya.co.id/2010/04/22/kekerasan-dalam-televisi.html, diunduh pada 28 Mei 2010

17 Kovach dan Rosenstiel, Op.Cit, halaman58

18 Sudibyo, Kebebasan Semu, (Jakarta: Kompas, 2009), halaman xxi